Melewati
tebing yang tajam demi mencari penghasilan, Desa Pangkungwani, Kecamatan
Mendoyo, Kabupaten Jembrana.
Jalan setapak itu mendaki
tampa ampun, tak berkesudahan. Napas terengah-engah, tenaga terkuras habis.
Pantas saja orang-orang malas melewati jalan tebing tersebut.
Berbaju
warna coklat pudar, bersandal jepit, Hapsah (68) berjalan mendaki tebing yang
tajam tanpa jeda. Satu ikat daun kelapa kering (danyuh) beratnya 1 1/2 kilogram yang
dia junjung seolah-olah tak pernah membebani kehidupannya. Sosok perempuan yang
berasal dari Desa Pangkungwani, Kecamatan mendoyo, Kabupaten Jembrana, itu
muncul melewati saya yang terengah di tebing yang tajam menuju ke daerah
pemandian (pangkung).
Biasanya
Arif (2) cucu dari perempuan tua itu sering mengikuti kemana neneknya melangkah.
Perempuan tua ini menggerakan kakinya sangat lincah seperti hentakan kuda
jantan. Begitu cepat dan tanpa jeda dalam bertindak.
Perempuan
tua ini bergegas untuk sampai di rumahnya karena merasa sangat lelah, haus, dan
lapar. Sambil menghela napas panjang, saya sempat menyempitkan pertanyaan apa
menu nenek siang ini. “Dadong singelah
daranasi apo, nasi putih gen ado di mejo,
(Nenek tidak mempunyai menu apa-apa, hanya sepiring nasi putih yang tersedia di
atas meja),” seru Hapsah nenek yang tidak berdaya itu. Kebiasaan perempuan tua
ini dalam kesehariannya yakni mendaki tebing mencari daun kelapa kering (danyuh) untuk menghidupi keluarganya.
Kebetulan
suaminya tidak bisa menafkahi karena dia mengalami diabetes kurang lebih 15
tahun. Dokter menyarankan agar suaminya beristirahat penuh di rumah. Sungguh
malang nasib perempuan tua itu, terkadang dia menangis merenungi garis
kehidupannya. Penyesalan yang luar biasa setiap hari terpendam dalam hatinya,
seakan-akan hatinya tertusuk oleh jarum yang ingin merebut nyawanya. Kepedihan
yang dia rasakan setiap menit, bahkan detik pun ingin rasanya dia melepas beban
yang ia pikul selama belasan tahun ini. Namun apa daya, penat yang tertanam
dilubuk hatinya tidak bisa dirangkai dalam sebuah kata yang harus diucapkan. Hanya
saja menjadi penyakit dalam yang tak tehingga yang dia rasakan saat ini.
Panas,
hujan, gelap, dan terang sudah biasa dia lalui. Bahkan cacian, berita tidak
sedap yang menyangkut keluarganya pun setiap hari dia tampung. Air mata yang
dia turunkan sudah menjadi kewajiban dalam kesehariannya.
26
Mei 2012 tepat pada Sabtu sore, Hapsah berpamitan sambil memeluk suaminya dengan
tangisan yang histeris. “Bapak, Sah budin
mejalan ke pangkung ngalih dayuh, Sah ngidih Do’a pang liu maan danyuh anggon
adep, bapak bagusan nyago ibo. “(Bapak, Sah mau berangkat ke pangkung
mencari daun kelapa kering, Sah minta Do’anya agar Sah banyak mendapatkan danyuh untuk dijual, bapak jaga kondisi
baik-baik),” seru Hapsah sambil meneteskan air mata.
Perempuan
tua itu mulai melangkahkan kakinya untuk mencari daun kelapa kering (danyuh). Alat yang biasa dibawa untuk
mencari daun kelapa kering (danyuh)
yakni sabit, galah atau bambu panjang, dan tali yang terbuat dari tangkai pohon
kelapa yang masih muda. Semut merah dan alat tersebut selalu menjadi sahabat
perempuan tua itu dalam mencari daun kelapa kering. Dia tidak pernah mengeluh
kesah dalam menjalani pekerjaan yang kurang layak ia tekuni meskipun daun
kelapa kering (danyuh) seharga Rp
1.500 per ikatnya. Perempuan tua ini bangga menjalani pekerjaan berat seperti
ini, asalkan pekerjaan yang dia jalani halal untuk di makan. Pekerjaan ini sudah
6 tahun dia tekuni.
Siang
berganti malam. Sampai di pekarangan rumah, Hapsah mengumpulkan daun kelapa
kering (danyuh) disebelah rumahnya.
Langkah selanjutnya yang dia tempuh meminta air PAM tetangga untuk membuatkan
suaminya air hangat. Terkadang telinga Hapsah mendengar bisikan kata-kata yang merobek
hatinya. “Setiap hari meminta air, coba sekali saja kalau menginjakkan kakimu
ke rumahku bawa serpihan uang untuk membayar, ”kata Idah (35) salah satu
tetangganya.
Air
mata mulai menetes membasahi wajah perempuan tua yang lemah itu. Kakinya
gemetar saat mendengar kata yang diucapkan dari bibir sosok perempuan yang
bernama Idah. Air PAM yang dipintanya langsung dituang begitu saja. Kini dia
kembali ke rumahnya dengan membawa tangan kosong ditemani tangisan yang
menyesakkan dada.
Beginilah
nasib keluarga Hapsah, setiap hari selalu mendapatkan kata-kata pedas yang
menggores hatinya. Air mata setiap detik mengalir di wajahnya. Dia setiap hari
merenungi nasib jalan kehidupannya, harus menggantikan kedudukan suaminya
sebagai kepala keluarga. Beribukali dia ingin mengganti profesinya, tetapi
keadaan yang menghapus semua harapan indah yang dia punya. Perempuan ini hanya
bisa menjalani keadaan yang dia terima dari Yang Maha Kuasa. Suatu saat pasti
Tuhan akan memberikan jalan terbaik untuk hamba-Nya yang kesulitan.
Perempuan
tua ini mengaku tidak pernah mendapatkan bantuan sedikitpun dari tangan
pemerintah. Dia merasa keluarganya dianggap sampah masyarakat yang setiap hari
menjadi parasit di Desa ini. Jangankan sembako yang berupa beras, air bersih
sebagian besar diterima warga Desa Yehsumbul selalu mengalir, kecuali keluarga
Hapsah setetespun tidak mendapatkan air yang mengalir. Dalam hatinya berbisik, “icang mekito gati ngusulin ajak pemerintah
pang maan yeh bersih caro banjaran lenan, tapi hatin cang ngorahan sing mungkin
asane pemerintah nyak nolongin keluarga singelah caro icang. “(ingin
rasanya saya mengusulkan kepada pemerintah agar mendapatkan air bersih seperti
warga yang lain, tetapi hati saya berkata tidak mungkin rasanya pemerintah mau
menyalurkan tangannya membantu keluarga miskin seperti saya),”renungan Hapsah
yang paling dalam.
Sebaiknya,
sosok perempuan yang sudah tua seperti Hapsah harus beristirahat banyak tidak boleh melakukan
aktivitas seberat yang dia alami sekarang. Pihak dari pemerintah seharusnya mempunyai
kewajiban untuk menyalurkan bantuan berupa sembako dan menyalurkan air bersih
untuk keluarga Hapsah. Apalagi suaminya tidak bisa menafkahi secara lahiriah
kepada istrinya karena mengalami diabetes kurang lebih 15 tahun. Marilah! julurkan
tangan kita untuk memberikan bantuan kepada keluarga Hapsah yang kurang
mampu.